25 dhjetor 2007

Amien Rais Dan Siswo Budoyo di Tahun 2003

Diambil dari Harian KOMPAS, Jawa Tengah, Sabtu, 18 Januari 2003

AMIEN Rais, merupakan ikon politik. Terkenal dengan berbagai statement politik yang "keras": blak-blakkan, lansung tunjuk dan langsung tonjok. Gaya blakasutanya itu banyak disukai orang. Terutama yang merindukan perubahan. Lihatlah, pada masa rezim Soeharto-di mana orang bicara dan mengkritik dengan bisik-bisik-Pak Amien bicara lantang soal suksesi nasional. Otomatis, hal ini mengancam eksistensi Soeharto yang kebetulan, langganan menjadi presiden. Guliran isu suksesi itu, ditengarai menjadi ilham banyak orang untuk berani melawan ketakutan, khususnya terhadap rezim Orde Baru yang terkenal zalim itu. Hingga akhirnya, meletus reformasi, di mana andil politik dan kultural Pak Amin cukup signifikan.Di sisi lain, gaya blakasuta Pak Amien kurang disukai sebagian orang. Terutama yang berwatak konservatif dan mempercayai eufimisme sebagai cara yang paling strategis untuk mengkritik penguasa. Oleh kalangan ini, Pak Amien dianggap "kurang njawani".Persoalannya menjadi menarik, ketika Pak Amien yang dianggap "kurang njawani" itu akhir-akhir ini menunjukkan empati yang besar terhadap kesenian tradisional semacam ketoprak, wayang kulit, dan dagelan Mataram, yang merupakan produk budaya Jawa. Harian ini memberitakan Pak Amien memberikan bantuan dana Rp 180 juta kepada Ketoprak Balekambang Surakarta untuk masa satu tahun. Sebelumnya, Pak Amien juga memberikan apresiasi donasi kepada almarhum Basiyo, yang diserahkan langsung kepada keluarga maestro dagelan Mataram itu. Bantuan yang sama, konon, juga diberikan Pak Amien kepada Ketoprak Siswo Budoyo, Tulungagung, Jawa Timur, agar tetap eksis. Pak Amien juga menyanyi lagu-lagu campursari. Bahkan sudah direkam. Selain itu, dalam beberapa kali perhelatan Partai Amanat Nasional yang dipimpin Pak Amien, dipentaskan wayang kulit.Dagelan Mataram dan ketoprak serta wayang kulit, yang merupakan hasil olah kreatif jenius lokal Jawa yang menjadi wahana sosialisasi nilai-nilai ideal budaya Jawa. Berbagai nilai ideal dan ide sosial itu disampaikan lewat bahasa estetik (simbol dan metafora). Begitu juga dalam kritisismenya. Dagelan Mataram memilih cara guyon parikena, mengkritik lewat kelakar. Ketoprak dan wayang kulit menggunakan bahasa kias, yang dituang lewat kisah yang melibatkan berbagai tokoh dengan karakternya. Pendeknya, dagelan Mataram, wayang kulit maupun ketoprak lebih mempercayai bahasa pasemon atau eufimisme daripada bahasa terus-terang. Sifat semacam ini, menjadikan mereka disebut sebagai kesenian yang "njawani".Yang menarik, Pak Amien yang selama ini dianggap "kurang njawani" itu, justru mendukung kesenian tradisional Jawa yang "njawani". Kita bisa mewacanakan langkah Pak Amien itu: (1) Pak Amien ingin menyelami budaya Jawa secara lebih dalam, sehingga dapat menyerap berbagai nilai-nilai ideal/kearifan lokal yang bisa menjadi inspirasi kepemimpinan politiknya, (2) Pak Amien, dalam konteks sebagai pribadi dan pimpinan tertinggi PAN, memberi bukti bahwa dirinya tidak antiseni-budaya (Jawa) dan memandang seni-budaya Jawa sebagai aset bangsa untuk menciptakan sivilisasi masyarakat. Diharapkan pula, citra kultural itu terpancar pada PAN. Syukur, mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam pemilu mendatang, (3) Pak Amien sedang membantah anggapan bahwa dirinya adalah orang Jawa yang "kurang njawani". Menjadi orang Jawa tidak harus eufimistik, namun bisa juga terus-terang dengan elegan; dan (4) Pak Amien memang nothing to loose, ikhlas, tanpa pamrih ikut menyokong ketoprak, dagelan Mataram dan wayang kulit yang selama ini termarjinalisasi.Kita bisa bermain-main dugaan terhadap langkah kultural (juga langkah politis?) Pak Amien. Tapi, lepas dari hal itu, Pak Amien telah memberikan manfaat yang besar bagi sebagian pelaku kesenian tradisional Jawa. Setidaknya, bantuan dana Pak Amien bisa mengulur nafas mereka untuk tetap setia ngrungkebi kesenian tradisional, di tengah kepungan budaya massa yang dimanjakan oleh televisi swasta dan kalangan pemodal besar.Pak Amien telah memberikan contoh, bagaimana kelas sosial menengah harus bersikap: tidak melupakan akar budayanya. Begitu pula yang terjadi di Jepang dan di negara-negara Utara (Eropa-Amerika), di mana kelas menengah rela membelanjakan anggarannya untuk kegiatan kultural. Tidak seperti di sini, di mana kelas menengah menyerupai pialang: sibuk melipatgandakan keuntungan.INDRA TRANGGONO, Cerpenis dan Pemerhati Sosial-Budaya.

Nuk ka komente:

televisi indonesia