25 shtator 2007

Bukan Hanya KBS, Siswo Budoyo Pun Butuh Bapak Asuh


Bukan Hanya KBS, Siswo Budoyo Pun Butuh Bapak Asuh
Kompas/Abdul LathiefRachman SamUPAYA Kebun Binatang Surabaya (KBS) mencarikan bapak asuh tampaknya menimbulkan perasaan "iri" pada kelompok Ketoprak Siswo Budoyo yang belakangan ini mulai menunjukkan gairah. Bagaimana tidak, binatang saja dibiayai hidupnya, sementara manusia-apalagi mereka itu pelestari budaya tradisional-dibiarkan sekarat tidak terurus.
"Kesenian tradisional harus punya bapak asuh, kalau cuma mengandalkan karcis penonton, tidak memadai. Untuk melestarikan seni tradisi tidak butuh omongan saja, tetapi uluran tangan, walaupun kecil," ujar Rachman Sam, Koordinator Ketoprak Siswo Budoyo yang ditemui Kompas di Surabaya, akhir pekan lalu.
Tentu saja yang dimaksud bukan sekadar bapak asuh yang menopang hidup para seniman ketoprak, tetapi juga memberikan manajemen yang bisa mempertahankan bisnis ketoprak. Paling tidak seperti hanya ketoprak atau pertunjukan tradisional lain yang sekarang terkesan mewah setelah bisa tampil di layar kaca.
Seperti dikatakan Rachman, untuk bisa mengembalikan kehidupan Siswo Budoyo tidak perlu harus mendatangkan bintang-bintang sinetron cantik seperti dalam Ketoprak Humor dan Srimulat Jakarta. "Cukup bintang-bintang kesenian tradisi lain yang tidak kalah cantiknya, seperti Yati Pesek, misalnya," ujarnya bercanda.
Ketoprak asal Tulungagung ini berencana akan kembali menghibur warga Surabaya tahun depan. Karena itu, untuk keperluan panggung seperti tata lampu, dekorasi, dan tata busana, sekarang ini sedang mereka persiapkan dengan harapan saat pentas kembali nanti tidak mengecewakan penonton.
"Rencananya sebulan sekali pentas, dan waktu lima bulan ini kami mempersiapkan diri sehingga nantinya memang layak ditonton," katanya. Target pasar penonton pemanggungan kembali ketoprak ini adalah lapisan warga kelas menengah. Karena itu, kemasannya nanti harus lebih pada pertunjukan yang sifatnya humor yang menyegarkan hingga membawa penonton kesenian terkesan," katanya.
Tatkala Kompas menengok gedung ketoprak itu, salah seorang pemain sedang mengerjakan lukisan dekorasi panggung, sementara pemain yang lain sibuk dengan urusan sendiri-sendiri, termasuk dua pemain yang kedapatan sedang membuat meja dari bahan kayu.
"Di samping menjadi seniman, mereka pun menyambung hidup dengan jalan mencari kerjaan lain. Ada yang berjualan, ada yang kerja serabutan," katanya.
Harapan para seniman tradisional itu kini mulai tumbuh. Stasiun televisi lokal JTV, misalnya, bahkan sudah menjalin kerja sama sampai empat episode, yakni Perkawinan Nyi Blorong (Dewata Cengkir), Lahirnya Joko Tingkir (Ki Kebo Kenongo Mbalelo), Kudono Warso Gugat (Kabut Jenggolo), dan Wulandari Pendekar Wanita (Pengkhianatan Demang Wono Keling).
"Tidak ada ikatan kontrak dengan stasiun televisi itu, karena kami tidak ingin terikat. Jadi, ya kontrak bebaslah, dan kami pun bebas untuk bekerja sama dengan stasiun televisi yang lain," kata Rachman. Jika stasiun televisi itu hendak mengambil gambar untuk siarannya, pihaknya pun siap dengan sebuah pementasan. "Artinya, kalau mereka mau, ya, shooting. Jadi, jangan sampai dikekang bekerja sama dengan pihak lain," ujarnya. (TIF

Nuk ka komente:

televisi indonesia