10 prill 2007

KETOPRAK SISWO BUDOYO

Sabtu, 6 April 2002




Ketoprak Siswo Budoyo


"Siswo Budoyo" Mencari Bapak Angkat

Meskipun usia Ny Siswondo Hardjo S, istri kedua pemilik ketoprak Siswo Budoyo, Tulungagung, Jawa Timur (Jatim), memasuki 62 tahun. Tetapi wanita baya ini masih tetap terlibat dalam pengembangan kesenian tradisional khas Jawa, yang pernah berjaya pada era tahun 1970-80an.
Bagi Bu Sis, demikian panggilan akrab Ny Siswondo, ketoprak merupakan panggilan jiwanya. Melalui ini diharapkan, mampu menjaga kelestarian kesenian tradisional, di tengah derasnya karya-karya seni modern.
Masuknya modernisasi bidang kesenian , menjadikan kesenian tradisional banyak yang gulung tikar. Apabila masih ada yang bertahan, jumlahnya tidak banyak. Ketoprak Siswo Budoyo sendiri, tampil dengan kreasi baru sebagai pengembangan dari tuntutan jaman.
''Di tengah terpuruknya kesenian tradisonal di berbagai daerah Indonesia, peranan Bapak Angkat diperlukan guna menjaga kelestarian kesenian tersebut dan kelangsungan hidup pemainnya,'' kata Bu Sis kepada Pembaruan, pekan lalu di Tulungagung..
Ketoprak yang didirikan almarhum Siswondo pada 1958 di Desa Kiping, Gondang, Tulungagung, Jatim, begitu terkenal sehingga masyarakat Jatim serta Jawa Tengah (Jateng) ada yang menyebut Siswo Budoyo hampir dipastikan menyebut Tulungagung, nama kota asal kesenian ini.
Ketika masih jaya, jika ketoprak ini manggung di suatu daerah, penontonnya tidak pernah sepi. Gedung tempat pentas mereka senantiasa dipadati penggemarnya, baik tua maupun muda.
Tetapi setelah Siswondo meninggal dan manajemen Siswo Budoyo dipegang puteri dari istri pertama, Ny Endang Wariyanti mulai 1998, ketoprak ini terus merosot tajam.
Para pemain maupun penabuh gamelan yang semula sebanyak 160 orang, lambat laun meninggalkan grup kesenian ini. Ada yang sepakat mendirikan grup sendiri, tetapi banyak juga yang berlalih profesi di bidang lainnya, hanya untuk menyambung tali kehidupan bersama keluarganya masing-masing.
Karena manajemen baru Siswo Budoyo tidak mampu lagi menghidupi krunya, maka kesenian ini menjadi berhenti. Sebagai orang seni, mendengar Siswo Budoyo tidak mampu bertahan, Bu Sis mencoba mengorbitkan lagi nama Siswo Budoyo.
Ketoprak dengan kreasi baru ini akhirnya dipimpin Rachman Sam, orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kesenian ini.
Sebagian besar pemain dan penabuh gamelan Siswo Budoyo lama masih diberi kepercayaan untuk berkreasi melambungkan seni tradisional ini. Sedangkan Bu Sis dalam manajemen baru sebagai penasehat.
Bapak Angkat
Melalui usaha kerasnya, Bus Sis dan Rachman bisa mendapatkan seorang bapak angkat. Di adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) waktu itu, Prof Dr Amien Rais.
''Ketika Pak Amien, masih menjabat Ketua MPR, kami memperoleh bantuan langsung Rp 5 juta per minggu. Bantuan sebesar itu untuk menggaji pemain dan penabuh gamelan,'' kata Bu Sis.
Tetapi setelah Amien Rais sudah tidak menjabat sebagai Ketua MPR lagi, bantuan tersebut tidak berkelanjutan. Dana sebesar itu dikatakan Bu Sis, sungguh berarti untuk melestarikan kesenian tradisional seperti Siswo Budoyo ini.
Sekarang terus dicari donatur-donatur lainnya seperti Amien Rais. Kepedulian mantan Ketua MPR inilah yang tidak bisa dilupakan Bu Sis dan kru Siswo Budoyo. Apabila ada penggantinya yang mengerti tentang kehidupan seniman kecil ini, diharapkan kesinambungan kesenian tradisional akan tetap terjaga.
Menurut Bu Sis, dulu ketika Gubernur Jatim masih dijabat Basofi Soedirman, pihaknya pernah dibantu kendaraan roda empat untuk operasional. Beberapa kepala daerah yang dulu juga penggemar Siswo Budoyo, sering nanggap ketoprak kreasi baru ini.
Guna menghidupi krunya, Siswo Budoyo pimpinan Rachman, tidak semata-mata menggantungkan diri pada donator. Ketoprak ini sudah merekam karya nyatanya dalam CD. Satu di antara rekaman yang bekerjasama dengan Persatuan Pedagang VCD Pertokoan Tanjung Anom Surabaya, berjudul Aryo Penangsang Mbalela.
Siswo Budoyo pada 1993 pernah bermain di Televisi Jawa Timur. Lakon yang disuguhkan Ampak-Ampak Singelopuro. Saat itu teve ini sebagian besar masyarakat Jatim menyaksikan tayangan seminggu sekali ini.
Ketika ditanya besarnya honor pemain sekali pentas, Bu Sis menyatakan hanya Rp 20 ribu. Bayaran sebesar itu sangat kecil, karena itu ia tidak akan pernah jenuh untuk senantiasa mencari bapak angkat selain Amien Rais.
PEMBARUAN/TEGUH LR


SETELAH sekian lama vakum, kelompok seni ketoprak Siswo Budoyo yang sempat melejit pamornya di era 1970-an dan 1980-an tengah berusaha bangkit dengan menggelar pentas-lebih tepatnya pengambilan gambar untuk sebuah televisi swasta-di Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Selama dua hari berturut-turut mereka mementaskan empat cerita, yang akan ditayangkan selama satu bulan, atau satu cerita setiap minggu.


Ini adalah suatu terobosan baru, bagaimana caranya agar seni tradisional dapat dinikmati oleh para penggemarnya," kata Rachman Sam, Pimpinan Siswo Budoyo Unit Produksi Surabaya.
Selama ini ia merasa penonton semakin enggan datang untuk menyaksikan pertunjukan secara langsung di gedung yang berlokasi di Jalan Kusuma Bangsa itu. Oleh karena itu, ia berniat mendekatkan diri kembali dengan jalan muncul di layar televisi.
"Di THR ini, penonton yang bawa kendaraan susah parkir di dekat gedung. Padahal, penggemarnya banyak yang sudah berusia lanjut. Jadi, mereka malas datang ke sini," kilah Budi Hartanto, sutradara Siswo Budoyo.
Pertimbangan mendekatkan diri ke penggemarnya itulah yang mendasari tekad Rachman untuk menandatangani kontrak kerja sama selama setahun, tanpa bersedia menyebutkan nilai kontraknya.
"Ini baru permulaan. Nantinya akan banyak lagi terobosan baru dari Siswo Budoyo untuk menggaet penggemarnya kembali," ujar Rachman.
Terobosan baru yang dimaksud Rachman adalah ketoprak kreasi baru. Nantinya, ketoprak kreasi baru akan menggunakan bahasa Indonesia, dekor yang beragam, dan menyisipkan kesenian daerah. "Tetapi, tetap akan berpegang pada pakem," janji Rachman.
Menurut dia, bahasa Indonesia bisa digunakan dalam sebuah lakon ketoprak, yang berfungsi mempermudah penonton untuk memahami cerita. Dekorasi panggung baru dibutuhkan untuk memberi nuansa baru pada pertunjukan, sedangkan kesenian daerah akan menjadi bagian dari jalinan cerita yang menggambarkan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
"Jadi, dalam pentas nanti bisa ada reog Ponorogo, tari Bali, dan kesenian daerah lain," jelas Rachman. Padahal, Budi tegas-tegas mengatakan tidak akan membuat ketoprak dalam bahasa Indonesia, karena itu bertentangan dengan pakem. "Kita ngugemi ketoprak pakem. Artinya, tidak akan menerjang alur sejarah. Termasuk bahasa, karena dari zaman dulu menggunakan bahasa Jawa," ujar dia.
Menurut sutradara sekaligus penulis skenario ketoprak yang tinggal di Malang ini, upaya mempermudah pemahaman penonton dari segi bahasa lebih baik diwujudkan dalam bentuk pencantuman teks bahasa Indonesia saat ditayangkan di televisi. Atau, seperti yang pernah dilakukan oleh Siswo Budoyo di zaman keemasannya, berupa pembuatan sinopsis cerita dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. "Akan tetapi, saya tidak akan membuat ketoprak berbahasa Indonesia," tegasnya.
Jika dicermati, seperti sebuah pertentangan pendapat antara dua orang yang berpengaruh di Siswo Budoyo dalam upaya mereka memajukan ketoprak yang saat ini sedang tidak menentu nasibnya. Padahal, perbedaan pendapat dan kepentingan itu berhubungan dengan wadah berkesenian mereka yang mesti diperjuangkan, karena menyangkut nasib perut anggotanya.
***
SISWO Budoyo, kelompok ketoprak yang sempat diimpikan pecinta seni untuk bergabung di dalamnya, didirikan pada bulan Juni 1958 oleh mendiang Ki Siswondo HS. Sepeninggalnya pada bulan Februari 1997, grup ketoprak yang pernah mementaskan Cleopatra, Romeo dan Yuliet, serta Oedipus ini dipimpin oleh putrinya, Endang Waryanti.
Namun, masa keemasan grup ini kian memudar. Pentas yang diadakan hampir setiap hari mulai sepi penonton. Menjelang Lebaran tahun 2001 lalu adalah saat terakhir pertunjukan mereka di Gedung Siswo Budoyo. "Empat bulan pertama masih penuh. Tetapi, setelah itu penonton mulai sepi, mungkin karena jenuh juga," tutur Budi.
Sejak saat itu, gedung berkapasitas 495 kursi itu pun tidak lagi dihiasi suara orang beradu kemampuan berkesenian atau gema gelak tawa dan tepuk tangan penonton. Hanya gulungan kain layar penghias panggung berikut piranti panggung lainnya yang tinggal di gedung tersebut, yang kian hari kian berdebu.
Maka, saat tawaran untuk tampil di layar kaca muncul, kelompok yang saat ini beranggotakan 82 orang itu kembali bergairah. Meskipun sebagian besar dari mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari penghasilannya di pentas ketoprak telah kembali ke kampung halaman masing-masing seperti Surakarta, Banyuwangi, Madiun, Ngawi, Nganjuk, dan Tulungangung, mereka tetap antusias untuk tampil kembali.
"Bagaimanapun, ini dunia yang kami cintai," ujar Eny Handayani, salah seorang pemain. Meskipun suaminya, Peni Warjono, mempunyai pekerjaan tetap di Madiun, mereka akan tetap manggung demi kecintaan terhadap seni dan Siswo Budoyo.
Saat ini, sekitar 67 anggota Siswo Budoyo kembali beraksi di panggung, menunjukkan taring mereka sebagai ketoprak yang pernah mempunyai banyak penggemar, yang sebagian besar masih bertahan. Terbukti pada saat pengambilan gambar yang memperbolehkan penonton datang tanpa membayar tiket-yang biasanya seharga Rp 5.000 dan Rp 7.500-sekitar 50 orang datang dan terhanyut ke dalam cerita yang dipertunjukkan.
Tepuk tangan kembali riuh, gelak tawa berkumandang, bahkan ketegangan saat "sang lakon" terancam bahaya, muncul dalam gedung yang mulai kusam itu. Penabuh gamelan beserta sinden yang mengiringi permainan ketoprak ikut menambah suasana, membuat penonton betah mengikuti cerita hingga usai.
Adanya dua pemain baru yang diikutsertakan dalam empat cerita, yaitu Kewirangan, Kembang-kembang Padas, Malam Grahono, dan Leak Pulau Bali ikut menambah "kesegaran" dan daya tarik panggung. "Siswo Budoyo butuh penyegaran, maka kami mengambil orang baru," jelas Budi.
Jelas bukan upaya gampang untuk menggaet kembali penggemar yang sudah lama tidak menyaksikan pertunjukan mereka. Meskipun untuk saat ini relatif mudah, karena penggemar umumnya kangen dengan penampilan Siswo Budoyo.
Namun, seperti yang diceritakan Budi, kejenuhan penonton ikut berperan dalam ketoprak ini, tentunya harus dilakukan cara yang lebih tepat untuk mempertahankan mereka. Cara yang lebih dari sekadar mengajak bernostalgia tanpa terobosan baru, yang akan berujung pada kebosanan.
Meminjam kata salah seorang pemain baru yang menganggap Siswo Budoyo saat ini dalam kondisi "hidup segan mati pun tidak", tentunya kita akan bertanya-tanya. Apakah ini upaya untuk bertahan hidup sesaat, ataukah Siswo Budoyo sedang berjuang untuk bangkit menuju kejayaan kembali..?

Nuk ka komente:

televisi indonesia