10 prill 2007

KETOPRAK DI ERA REFORMASI

Kethoprak Di Era ReformasiJudul Asli: SIASAT INGAT UNTUK LUPA


Suatu ketika pada tahun 1920-an, ada seorang pejabat Rusia yang akan berkunjung untuk mengetahui kehidupan dan situasi sehari-hari sebuah kamp kerja paksa bagi para pembangkang rezim pusat. Untuk menyambut kunjungan pejabat dari pusat itu, petugas kamp (baca: penjara) menghias meja makan para tahanan dengan taplak dan bunga. Bahkan, supaya kelihatan bahwa kamp kerja paksa itu memberi pelayanan dan suasana yang lebih manusiawi, nanti pada hari kunjungan akan disediakan juga surat kabar di atas meja makan. Sebenarnya, para tahanan di kamp tersebut tidaklah begitu seberani seperti diduga orang. Mereka masih merasa takut untuk berbicara apa adanya ketika nanti pejabat dari pusat itu datang, karena jangan jangan sesudahnya nasib hidup mereka di kamp justru akan lebih menderita. Maka, beberapa tahanan berinisiatif bahwa nanti kalau pejabat itu datang, mereka akan tetap buka mulut dan hanya bersiasat dengan membaca surat kabar yang disediakan, tetapi dengan posisi terbalik! Apa yang terjadi pada hari kunjungan? Si pejabat ternyata tidak jeli menangkap siasat para tahanan. Sepulang dari kunjungan kerjanya, pejabat itu membuat laporan “apa adanya” yang mengesankan bahwa kamp tersebut dijalankan dengan baik dan tanpa masalah. Itulah sekelumit kisah dari awal keadaan kamp kerja paksa di Rusia, yang sebenarnya telah memakan korban yang lebih besar daripada apa yang pernah terjadi di kamp konsentrasi buatan Hitler. Kisah ini dapat juga untuk membandingkan: apakah komunitas kethoprak, dan khususnya buku kethoprak ini, adalah mirip dengan siasat teatrikal yang dipilih oleh para penghuni kamp kerja paksa di Rusia itu?Para pembaca, khususnya yang belum akrab dengan kethoprak, atau yang bukan warga komunitas (pemain maupun penonton) kethoprak, mungkin akan mempertanyakan apa maksud dan tujuan penerbitan buku hasil pengamatan terhadap kesenian kethoprak ini.

Buku ini tidak ditulis dalam bahasa Jawa, bahasa yang diakrabi komunitas kethoprak dan hampir selalu dipergunakan dalam pentas kethoprak. Selain demi alasan pemasaran, buku ini tidak terbit dalam bahasa Jawa karena tujuan utama buku ini bukanlah sekadar untuk membela atau bahkan berusaha meng(h)ajar bagaimana sebaiknya sebuah komunitas kethoprak atau beberapa tokohnya, seperti almarhum Pak Sis dari Siswo Budoyo, Pak Gati dari PS BAYU atau mas Bondan Nusantara dari DMB, harus bekerja. Bahwa penulis memilih bahasa Indonesia sebagai media untuk mengkomunikasikan isi buku ini, tentunya mempunyai alasan-alasan tertentu. Bahasa Indonesia adalah sarana perbincangan terpenting dari massa rakyat Indonesia yang menghadapi beragam konflik (dan konsensus) sosial, ekonomi, dan politik. Konflik dan konsensus yang sama itu, juga dihadapi dan diperbincangkan oleh komunitas kethoprak. Segala sesuatu, informasi, data, pesan, makna, ideologi, dan lain-lain yang diungkapkan atau di-nyata-kan dalam bahasa Indonesia, juga menjadi perbincangan di panggung kethoprak.Di atas panggung kethoprak, penulis menemukan satu contoh penting untuk dikaji ulang sistem dan struktur hierarkis yang begitu mudah diterapkan terhadap tiga hal: kata-kata, gagasan, dan kenyataan. Hal-hal tersebut yang selama ini ditampilkan dalam perbincangan sejarah masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Penampilan dari tiga hal tersebut sangat berkaitan dengan politik bahasa dalam hidup sehari-hari sebuah masyarakat Indonesia kontemporer, massa rakyat Jawa khususnya. Ada suatu pengalaman menarik dari seorang antropolog asal Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang pernah mengadakan penelitian di Solo. Dia mengatakan bahwa orang-orang Amerika yang mampu berbicara bahasa Jawa, dianggap oleh (beberapa) orang Solo bahwa mereka itu bicara bahasa Indonesia dengan sangat baik. Bahasa Indonesia yang diucapkan oleh orang-orang asing tersebut, kata Siegel, bukan lagi sekadar sebuah bahasa nasional, tetapi sebuah lingua franca (bahasa pengantar), sebuah kesepakatan cara berkomunikasi yang sebenarnya tidak diatur atau dimiliki secara khusus oleh pihak siapa pun (1). Penelitian ini berusaha untuk memberi bukti bagaimana jejak langkah komunitas kethoprak harus meng hadapi dunia modern sehari-hari bersama dengan pihak-pihak tertentu yang mampu menguasai dan mengatur bahasa Indonesia tersebut, sejak masa kolonial sampai dengan masa postkolonial menjelang berakhirnya abad kedua puluh ini. Seperti telah diuraikan dalam bab-bab di atas bahwa reaksi keindonesiaan modern dari para penguasa atau pihak siapa pun juga, sesungguhnya tidak harus disebut yang sama saja dengan nasionalisme kalau ide(ologi) itu dilawankan dengan kolonialisme.Apalagi kalau nasionalisme dan konteks modern Indonesia masa kini dari kesenian kethoprak yang diteliti, ditafsirkan dan dipaparkan kembali oleh buku ini dilahirkan dari apa yang oleh Anderson disebut sebagai komunitasimajinatif yang penampilannya didukung sepenuhnya oleh media komunikasi massa cetak modern. Mengapa nasionalisme dikatakan imaginatif karena sesudah membaca atau menyaksikan sebuah peristiwa, masingmasing warga mampu mempertimbangkan (baca: membayangkan) sebuah bangsa; meski mereka itu satu dengan yang lainnya belum pernah saling sapa, jumpa, dan kenal (2). Dengan buku berbahasa Indonesia ini, penulis bermaksud supaya komunitas imajinatif dari para pembaca buku ini dapat ikut mengenal dan menghargai cara dan bentuk perbincangan menghadapi dunia modern dari kalangan massa rakyat kecil di Indonesia, khususnya dari komunitas kethoprak. Sebagai sebuah kesenian rakyat tradisional, kethoprak memang mudah untuk ditangisi (karena takut akan punah) atau dilestarikan (karena memberi pahala tentang sesuatu yang adiluhung, kolosal dan eksotik) oleh kalangan elite Indonesia. Apalagi kalau cara-cara memahami sebagai yang patut ditangisi atau dilestarikan itu dapat mengesankan bahwa hanya kaum elitlah yang sepantasnya membawa kemajuan. Sementara, massa rakyat kecil selalu dianggap sebagai pihak yang bersikap pasif dan tak dapat berbuat apa-apa.Penulis mengakui bahwa salah satu kekurangan dari buku ini adalah kurang begitu setia mendata lengkap secara kronologis pertunjukan kethoprak sejak awal kelahirannya pada awal abad kedua puluh ini. Buku ini memang lebih mengutamakan untuk mengkaji temuan-temuan baru, imajinasi yang jeli, dan kecerdasan tampil di atas panggung dari kalangan seniman pertunjukan kethoprak.Saya berharap, buku ini dapat membangun komunitas penafsir berdasar kajian postkolonial di Indonesia, yang mampu menangkap bahwa kalangan wong cilik, massa rakyat kecil, sesungguhnya tidak kalah revolusioner dan nasionalis bila dibandingkan dengan pihak-pihak elite tertentu yang sering merasa paling bertanggung jawab dan berjasa atas kesuksesan pembangunan dan modernisasi Indonesia. Masih perlu juga untuk dipahami bahwa kethoprak tidak sama saja dengan sebuah teater nasionalis dan revolusioner antikolonialisme karena memang tak punya otot untuk melakukan aksi itu. Antikolonialisme dalam wujud nasionalisme mungkin merupakan kemenangan masa Pencerahan, yang juga dinikmati dan diagung-agungkan oleh sebagian warga Indonesia, kalangan penguasa, dan sebagian kelas menengah khususnya. Kajian postkolonial tentang komunitas kethoprak dalam buku ini berisi perbincangan tentang hal dan masalah yang berkaitan dengan imajinasi, bahasa, dan identitas. Tiga hal yang (telanjur) dipikir dan diyakini oleh kalangan elite tertentu dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia sebagai hal-hal yang memiliki kuasa hegemonis dalam praktek hidup sehari-hari.
Politik Masa LaluDari awal kelahirannya di daerah pedesaan, komunitas kethoprak sesungguhnya tidak akrab dengan kebudayaan adduhung milik kaum elite atau kalangan penghuni keraton. Ketika penduduk desa yang agraris (terpaksa) pindah ke kota dan menjadi pekerja atau buruh di sektor dagang atau usaha ekonomi modern lain yang industrial (3), seni pertunjukan kethoprak juga ikut diboyong ke kota. Selanjutnya, panggung kethoprak menjadi saksi mata dari siasat kebudayaan massa rakyat kecil asal pedesaan yang harus berhadapan dengan pesona dan paradoks hidup urban dan modern. Sebelum boyongan ke kota, tradisi, upacara dan pertunjukan-pertunjukan sosial yang diselenggarakan di desa biasanya mampu mengajak seluruh warga desa dalam suatu solidaritas dan saling menghargai. Dalam masyarakat urban modern, menyelenggarakan upacara dan pertunjukan di tanah lapang seperti dari masa lalu ketika masih di desa tersebut menjadi lebih sulit atau bahkan tidak mungkin lagi untuk diperkembangkan.Akan tetapi, daripada melakukan penerjemahan tradisi (desa) menjadi tradisi modern - yang sering bersifat mimikri - berwujud kebudayaan adiluhung sebagaimana dilakukan oleh kaum terpelajar yang sudah mengalami apa yang disebut Pencerahan, komunitas kethoprak lebih suka untuk mengatur dan menjinakkan hal-hal mempesona dari modernisasi tersebut, misalnya melalui siasat plesetan. Siasat plesetan seperti itu memang akan terasa sebagai aksi menyia-nyiakan keindahan yang mempesona melalui beragam penampilan kontroversial dalam seksualitas dan individualitas yang berlebihan seperti dalam beberapa lakon Ratu Kidul. Pertunjukan identitas atau kepribadian yang terpecah - misalnya dalam berbagai lakon Suminten (Ora) Edan - selalu menyejarah dan menjadi bagian dari pentas panggung plesetan kethoprak. Tidak seperti biasanya skenario sebuah teater modern, kethoprak memang sebuah sandiwara yang sangat mementingkan proses membangun sebuah makna; dan bukan sekadar pertunjukan demi sebuah hasil atau kesimpulan makna akhir belaka.(4) Kepentingan seperti itu secara terns-menerus membuat kesenian kethoprak mampu menghindar dari dunia kepentingan yang biasa-biasa saja sebagaimana ada dalam kebudayaan dan pelembagaan: persekolahan, polisi, tentara, orang-tua, dan media komunikasi massa modern.(5) Semua hal itu dapat terjadi di atas panggung karena komunitas kethoprak menjadi jelas akan ketidakjelasan hakikat sebuah masyarakat modern yang majemuk, tetapi tetap terkotakkotakkan dalam kebakuan kelas sosial, favoritisme, dan diskriminasi berdasar pembedaan agama dan suku yang tumbuh subur pada masa lalu dalam masyarakat Indonesia.Dengan kejelasan seperti itu, komunitas kethoprak justru mampu tegar dan tidak melarikan diri dari kenyataan hidup sehari-hari mereka. Identitas seorang penguasa (raja, ratu, prabu, atau apa pun juga istilahnya) yang dikait-kaitkan dengan imajinasi atau bayangan-bayangan (tradisional) adduhung justru menjadi rapuh ketika simbol-simbol kekuasaan itu (kostum, bunyi suara, dan lain-lain) dipentaskan secara khas di atas panggung oleh komunitas kethoprak sebagai warga massa rakyat kecil. Memang, biasanya, kita berpikiran bahwa selama ini para seniman panggung berusaha mementaskan hal dan masalah yang sedang mereka lihat di dunia, atau yang ingin mereka lihat, atau yang dibayang-bayangkan ingin mereka lihat. Komunitas kethoprak - paling tidak dari pengalaman penulis melihat pentas mereka-boleh dikatakan justru berusaha memaklumkan relativitas dan kesementaraan dari hal-hal yang terlihat. Kalau mengikuti pandangan seorang sutradara film-film alternatif, Wim Wenders, komunitas kethoprak terus-menerus berusaha mengungkapkan kepercayaan mereka bahwa yang kelihatan itu sesungguhnya hanya aspek tertentu dalam kaitannya dengan seluruh alam semesta. Selain dari itu, kebenaran-kebenaran yang kelihatan sebenarnya adalah faktor-faktor yang dilebih-lebihkan.(6) Komunitas kethoprak tampaknya juga sadar bahwa masalah tertentu dapat terjadi di dunia ini karena mengandaikan campur tangan suatu makna yang lebih luas dan lebih tersebar-sebar; bahkan sering berlawanan dengan pengalaman rasional dari hari kemarin atau masa yang telah lewat. Dalam seni pertunjukan mereka, tampaknya komunitas kethoprak - misalnya DMB juga terus berjuang untuk mengungkap sifat-sifat pokok dari hidup seharihari pada masa lalu sering mudah disebut begitu saja sebagai sebuah “kebetulan”.(7)
Cemooh KebudayaanSesungguhnya buku ini tidak mengabaikan betapa besar peranan kesenian panggung modern yang lain seperti Teater Koma, Teater Gandrik, dan teater-teater kontemporer lainnya. Penelitian ini dianggap penting dan mendesak karena dalam sejarah kebudayaan di Indonesia, komunitas kethoprak, khususnya para pemainnya, pernah menjadi dan dijadikan korban pihak-pihak yang tidak tahan dengan siasat cemooh seni pertunjukan khas milik massa rakyat kecil ini. Dalam sejarah (kebudayaan) politik Indonesia antara akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, kesenian panggung kethoprak memang pernah dianggap begitu menakutkan pihak penguasa karena kemampuannya untuk menelanjangi topeng-topeng politik mereka. Apakah pentas kethoprak pada masa itu memang sungguh mampu memberdayakan kesadaran kritis massa rakyat kecil - apalagi menghasilkan sebuah perubahan sosial - masih perlu diperdebatkan.Pada bagian terakhir dasa warsa tahun 1950-an, tradisi kethoprak pernah menyadarkan seniman modern untuk tidak menyerah dan menyiasati apa yang disebut nasib dan kebetulan dalam hidup sehari-hari, dengan usaha memodernisasikan kethoprak. Sebagai contoh, LEKRA yang dimotori oleh beberapa seniman terpelajar dan dengan pengalaman internasional (8) memang pemah mempunyai agenda sosial dan nasional berkaitan dengan seni pertunjukan kethoprak. Sebelum Orde Baru lahir, pada akhir bulan Januari tahun 1965, seorang bemama Waseso menulis di surat kabar Harian Rakyat mengenai Pembaruan Bentuk Kethoprak. Salah satu pembaruan yang dia usulkan, yaitu waktu pentas kethoprak dapat disingkat selama dua jam saja. Dia mengingatkan bahwa ada lima unsur pokok dan tetap dalam kethoprak yang pernah disepakati, misalnya, dalam Konggres I BAKOKSI, tahun 1957, dengan isi sebagai berikut.Pertama, pemakaian bahasa Jawa. Kedua, tak terikat pada pakem. Meskipun memang ada tiga jenis besar cerita yaitu: cerita tradisional (Timun Mas, Buto Ijo, Ande-Ande Lumut, Rara Mendut); cerita babad (dari sebelum maupun sesudah kolonialisme Belanda masuk) dan cerita masa kini (Gagak Sala, Paceklik T’renggalek). Ketiga, pemakaian gamelan, baik slendro maupun pelog. Keempat, cerita dibagi dalam babak besar dan babak kecil; dengan urutan dari A - Z tanpa ada flashback. Kelima, ada adegan dagelan baik yang sedang mengikutkan tokoh yang baik maupun yang jelek.(9)
Penulis itu juga menambahkan bahwa kethoprak sesungguhnya masih mementingkan unsur tembang (nyanyian) karena dengan cara itulah tokoh tertentu dapat mudah mengingat dan menghafal perasaan (sedih atau cinta) yang harus dia pentaskan. Juga, dalam kethoprak selalu ada adegan ngudarasa, mengeluarkan perasaan hati dalam suatu monolog. Dalam drama modern, bahkan kesempatan untuk ngudarasa ini sering dilakukan secara berkepanjangan dan bahkan berbelit-belit.Masih berkaitan dengan kongres BAKOKSI I (Badan Koordinasi Kethoprak Seluruh Indonesia) di Yogyakarta tahun 1957 itu, seorang pengamat kesenian rakyat yang lain menulis bahwa sampai saat itu masih saja banyak orang atasan yang gemar mengata-ngatai bahwa kethoprak sebagai sesuatu pertunjukan yang tak bermoral. Untuk membantah tuduhan itu, penulis hanya merujuk bahwa sesungguhnya salah satu pendiri kesenian kethoprak adalah juga seorang yang masih dari keturunan kaum bangsawan feodal, yaitu KRT Wreksadiningrat.(10) Penulis juga menunjuk bahwa bagaimanapun juga (pada masa itu) kesenian kethoprak berhasil memenuhi kesukaan rakyat pada babad kepahlawanan. Contoh yang diberikan yaitu ketika grup kethoprak Krido Mardi main di Semarang dan mementaskan lakon “Kapten Lazaro”. Usai pementasan, lakon itu ternyata membuat banyak orang Semarang suka menirukan dan mengucapkan kata-kata “O, Lazaro” dalam pembicaraan sehari-hari mereka. Kata-kata itu sering diucapkan pada saat dan tempat yang tepat terhadap seseorang yang sedang memegang kekuasaan tertentu, yang dianggap berlaku “kejam” terhadap sesamanya.(11) Tidak mengherankan kalau keberhasilan mencipta kembali ingatan mencemooh dari sebuah pentas dengan lakon modern seperti itu, telah membuat kesenian kethoprak ditonton secara gratis ataupun membayar- menjadi populer di kalangan massa rakyat kecil atau kelas sosial lain di daerah perkotaan yang kritis terhadap penguasa.(12) Sebagaimana juga terjadi pada awal kelahirannya, kethoprak tetap saja mampu mementaskan lakon-lakon bukan tradisional; dan membengkokan, melecehkan, dan mengaturnya sesuai dengan kenikmatan para pemain dan penontonnya.Hersri, salah seorang pengamat seni, memang pernah khawatir bahwa modernisasi - dalam kata-kata dia sendiri, yaitu “remo” (revisi modernisasi) - justru akan merugikan keaslian kethoprak sebagai sebuah seni pertunjukan rakyat.(13) Dia mengkhawatirkan bahwa kethoprak pada tahun 1990-an sudah semakin jarang mementaskan cerita-cerita rakyat, seperti terjadinya Rawa Pening, M Ageng Sela menangkap Bledek, si Wuragil memperdaya Buta ljo, Jaka Tarub menundukkan Bidadari. Hersri juga menunjuk kenyataan bahwa dalam perjalanan sejarah kethoprak telah diubah, diwayangkan atau disandiwarakan dalam berbagai unsurnya, seperti musik, tata panggung, pencahayaan, dan bahkan lakon. Perubahan tersebut dilakukan oleh kaum bangsawan berdasar sosial budaya (priayi) maupun bangsawan ekonomi (pengusaha Tionghoa Peranakan). Katanya,
Kethoprak menjadi dibikin berjarak dari dongeng-dongeng rakyat, dan sebaliknya lebih cenderung menjajakan kisah-kisah roman para bangsawan. Meninggalkan “Jaka Kendil” terlupa di desa, dan mengangkat “Jaka Umbaran” di mana saja. Berbangga-bangga memperkenalkan “Hamlet”, tetapi tak malu tak mengenal “Ni Wungkuk Ing Bendha Growong” si pelarian kusta dari Plantungan. Bermegah-megah memasang baliho lakon “Kapten Nazaro”, sambil menyampingkan “Mangir Wanabaya”. Akh!(14)
Hersri juga mencurigai bahwa khazanah lakon-lakon “remo” yang tidak lagi berdasar cerita rakyat itu meskipun berkisah tentang pasang-surut riwayat para ksatria (lengkap dengan hamba sahaya mereka), namun selalu berkesudahan dengan sebuah nasib baik. Tentu saja, wakil rakyat kecil di dalam lakon-lakon itu juga ikut menikmati nasib baik itu. Kisah “Mbok Randha Dhadhapan” di tengah hutan, misalnya, selalu menjadi kiblat penampilan yang disebut wakil massa rakyat kecil. Komentar Hersri,
Alangkah sengsaranya, bukan? Sudah perempuan janda, si Embok pula! (Perhatikan sebutan “Mbok” itu!) Jadi, betapa daif dan ciliknya dia itu. Masih ditambah lagi hidupnya di sebuah gubuk reyot di tengah hutan. Sang Putra atau sang Putri harus ngenger atau diangkat anak si Wong Cilik, walaupun untuk sementara waktu saja.Apa hakikat dari episode ini? Turun ke bawah untuk me-rakyat-kan diri? Kupikir tidak! Karena yang menjadi tujuan akhir bagi sang Satria tetap yang satu itu juga: Takhta Raja. Dan nasib si Wong Cilik? Tetap sebagai hamba sahaya. Hanya saja sekarang mereka diboyong ke kraton, atau gubuk reyot di hutan itu dibangun baru menjadi wisma yang cantik, untuk tempat istirahat dia juga jika sesekali pergi berburu kijang di hutan. Maka buatku, hakikat episode ini, tidak lain ialah hipokrisi kaum “seniman” Remo dalam manipulasi Ruh Rakyat.(15)
Penundaan dari masalah sosial (politik dan ekonomi) yang nyata, atau bahkan romantisme seni pertunjukan, yang dikhawatirkan oleh Hersri terhadap pembaruan kethoprak pada tahun 1990-an itu, mungkin agak berlebihan. Bahkan, juga kalau kekhawatiran itu diterapkan pada lakon-lakon kethoprak seperti Sumunaring Surya Ing Gagat Rahina, Lengser Keprabon, dan Abunawas seperti telah diuraikan dalam bagian kedua buku ini. Hersri mengusulkan bahwa sebaiknya kethoprak juga belajar dari seni pertunjukan rakyat yang masih serumpun dan sebayanya (Ludruk, Lenong, dan Wayang Sirunda). Kesenian rakyat yang terakhir ini tidak terlalu berorientasi pada kebudayaan petani yang begitu hormat kepada kaum priayi, tetapi akrab dengan gaya hidup massa rakyat pesisiran yang biasa berdagang. Akan tetapi, benarkah hanya gaya hidup pesisiran yang memang akan mengobati kekhawatiran Hersri? Penemuan gaya panggung kethoprak plesetan - berdasar “kemurtadan” terhadap identitas dan (budi)bahasa elitis tertentu - sebagaimana diusahakan oleh komunitas PS BAYU dan DMB, kiranya juga memberi harapan bahwa seni pertunjukan massa rakyat kecil akan tetap berkelanjutan.Hanya, perlu diingat lagi bahwa seni pertunjukan massa rakyat kecil seperti kethoprak, jangan terlalu dituntut untuk melakukan sebuah aksi praksis demi sebuah perubahan sosial. Wenders cukup jelas membedakan bagaimana tanggapan seorang pembaca buku dengan seorang penonton teater, tentang sebuah masa lalu. Dalam sebuah buku, sebuah masa lalu akan lebih terasa “kesejarahannya” karena dalam urutan kata, kalimat, dan halaman-halamannya, imajinasi si pembacalah yang memegang peranan penting dan menentukan. Dalam seni pertunjukan kethoprak, sebuah (fiksi) masa lalu justru tidak lagi menjadi sebuah sejarah atau masa yang sudah lewat ketika yang tersaji di atas panggung adalah wujud-wujud pandangan dan bunyi.(16)Dengan demikian, bukan tanpa risiko kalau penulis dan basil penelitian tentang kethoprak ini akhirnya dipaparkan atau dilukiskan kembali dalam wujud sebuah buku. Buku, sebagai media komunikasi cetak massa(l), dalam masa modern akhir-akhir ini dipertanyakan efektivitas peranannya dalam mayoritas penduduk Indonesia yang belum sangat akrab dengan kebiasaan membaca. Mengingat bahwa buku ini akan dimanfaatkan terutama oleh pembaca terpelajar, maka perlu dibedakan antara peran komunitas yang mementaskan, menonton, dan menikmati kethoprak dengan peran para pemegang buku ini yang (sedang) membaca halaman demi halaman; yang sebagian besar, mungkin, justru berasal dari kalangan “bukan massa rakyat kecil” yang sedang di(per)mainkan di atas panggung oleh komunitas kethoprak termaksud.Seorang budayawan seperti Umar Kayam, pernah memperingatkan bahwa media komunikasi massa modern, televisi khususnya, justru dapat merugikan kelangsungan hidup tradisi kethoprak. Tulisnya, “Ya, lihat tipi, ya, lihat tipi. Ning mbok ya kalau acaranya kethoprak atau wayang kulit itu mereka, ya, pada mau lihat. Maunya yang humor dan dor-doran saja.”(17) Sementara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mungkin dengan maksud untuk lebih memajukan fungsi seni budaya tradisional, pernah mengatakan bahwa sebaiknya karya-karya sastra dan seni-budaya lainnya juga dikemas dengan baik melalui media televisi. Menteri Wardiman berpendapat seperti itu karena, alasannya yaitu bahwa “setiap hari televisi ditonton oleh sembilan juta pemirsa!”(18) Almarhum Pak Sis, sewaktu masih menjadi pemimpin grup kethoprak Siswo Budoyo pernah menganggap televisi dan bioskop murahan, ternyata justru menjadi pesaing terhadap kelangsungan panggung tobong kethoprak.(19) Perhitungan-perhitungan (modern) berdasar jumlah penonton televisi seperti di atas menjadi mengkhawatirkan karena televisi memang mampu menghasilkan suatu tontonan yang spektakuler, dengan akibat-akibat negatifnya yang mesti dibayar. Tokoh Ratu Kidul yang diperankan oleh bintang film cantik Inneke Koesherawati ketika tampil bersama kethoprak kolosal di TIM,(20) atau selebriti Mila Karmila dalam sinetron “Kisah Ratu Pantai Selatan” memang mampu memberi rasa takjub karena membawa sensualitas erotis! Sementara “Ratu Kidul” yang diperankan oleh Arie Yamti dari kethoprak Siswo Budoyo di sebuah tobong di alunalun Utara Yogyakarta, selain memberi sensualitas, juga cemoohan yang membawa rasa pahit, khususnya bagi para penonton terpelajar seperti penulis buku penelitian kethoprak ini! Komentar seorang penonton kethoprak Siswo Budoyo di sebelah penulis yang mengatakan “betapa cantiknya Yamti sebagai Ratu Kidul yang sedang pacaran dengan Senapati” terdengar begitu mencemooh dan konyol di telinga.Cemoohan dari massa rakyat kecil seperti itu jauh dari maksud-maksud pelarian diri dan tidak peduli terhadap keramaian hidup sehari-hari. Minus sifat-sifat tragedis dan antagonis yang dimiliki jenis panggung teater modern, kethoprak jelas bukan sesuatu seni pertunjukan yang tanpa arti,(21) meskipun jauh dari tolok ukur sembilan juta orang konsumen di depan tabung televisi termaksud. Komunitas kethoprak yang dalam praksis hidup sehari-harinya tak lepas dari beragam konflik dan perbincangan kasar, jorok, dan kumuh lainnya - seperti dalam panggung PS BAYU dan DMB justru mampu memberi bukti akan keterbatasan intelektualitas manusia sebagaimana selama ini dibakukan dan dibekukan dalam tatanan bertingkat-tingkat antara kata-kata, gagasan, dan kenyataan! Panggung kethoprak bukan sebuah praksis revolusioner. Akan tetapi, kasus konflik dan konsensus pementasan kethoprak Siswo Budoyo di kota Solo Berseri yang sedang mengejar Adipura Pembangunan, kethoprak plesetan yang sempat dihambat oleh rezim Orde Baru adalah beberapa bukti yang sesungguhnya memberi kemungkinan kepada kalangan yang bukan massa rakyat kecil (kaum penguasa, terpelajar, dan lain-lain yang sejenis) untuk menyadari bahwa (telah) terjadi keruntuhan dari yang ditandakan (petanda, the signified ) menjadi yang menandakan (penanda, signifier). Sebagaimana seni hasil kreativitas budaya lain yang sejenis, kethoprak lebih merupakan suatu siasat pengunduran diri dari sebuah kebenaran, daripada suatu pemusnahan terhadap kebenaran. Komunitas kethoprak yang tidak (atau belum?) pernah diperhitungkan dalam perbincangan publik kaum elite, dengan siasatnya sendiri justru menunjukkan kegagalan aksi politik langsung dengan cara memanggungkan sebuah “kejujuran baru”. Sebuah seni pertunjukan kerakyatan seperti itu justru mampu membeda-bedakan mana pihak-pihak yang tahu tetapi tidak bertindak, dan pihak yang bertindak tetapi tidak tahu (22) sambil mempertanyakan di mana dan kapan peran publik mereka?
Ingat untuk LupaPenelitian dan buku ini boleh dikatakan berangkat dari permasalahan manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dan mengatur kembali sebuah peristiwa - khususnya yang dianggap ber-”nasib sial” yang sudah lewat, dari masa lalu. Seorang penulis peristiwa-peristiwa sejarah kontemporer, Naipaul, pernah mengungkapkan bahwa manusia toh bersedia belajar dari masa lalu. Dia berharap bahwa - dengan membaca tulisannya -manusia dapat hidup dengan lebih baik. Tulisnya,
Untuk menghapus derita, hal itu tidak mungkin. Yang dapat diharapkan yaitu mengurangi penderitaan. Mencoba memahami mengapa sesuatu hal terjadi dan bagaàmana ketika hal itu terjadi; dan, lalu mencoba untuk melihat di mana hal-hal tersebut ternyata menyeleweng.(23)
Bagi kalangan elite penguasa dan kalangan terpelajar, demi yang lebih baik itu, mereka berusaha melestarikan identitas yang dimiliki, lalu mengimajinasikan atau membayangkan tentang suatu keaslian asal-usul mereka dalam berbagai simbol dan metafor penampilan yang adiluhung. Dalam hal ini, selain persepsi, ingatan dan mimpi, bahasa - khususnya bahasa yang tertulis dan tercetak - merupakan salah satu media terpenting untuk menghasilkan identitas, imajinasi, dan penampilan tersebut. Memanfaatkan bahasa itu, manusia berusaha untuk mengingat, menyimpan, mengklasifikasi, memberi nama, mengkaji, dan mengkritik, menyadari, dan mengkomunikasikan peristiwa yang telah lewat itu, bahkan secara empiris dan rasional.Kethoprak tidak mempunyai keinginan dan kemampuan untuk menulis sebuah masa lalu dalam sebuah buku (sejarah), apa pun tujuannya. Apalagi, kethoprak plesetan, misalnya, menyadari bahwa (budi)bahasa dipergunakan manusia bukan sekadar untuk berkomunikasi tentang beberapa kebenaran dari dunia ini. Panggung kethoprak memberi beberapa bukti bahwa bahasa sebaiknya dimengerti sebagai sarana yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya tak mudah dijelaskan. Kethoprak juga tidak akrab dengan skenario dan program kerja seni pertunjukan film dan sandiwara, yang mengurutkan tindakan (adegan) tertentu dan dengan sebuah hasil akhir yang bersifat mimetis atau moralis. Tidak jarang hash kerja merekayasa sebuah masa lalu seperti itu akhirnya dikeramatkan dan menjadi sebuah fetish, jimat, yang berguna untuk menenteramkan ketidakpastian sebuah masa depan.Siasat kebudayaan yang dipentaskan komunitas kethoprak, sebagaimana dikaji ulang oleh antropolog Steedly tentang sejarah lokal massa rakyat kecil di tanah Karo, Sumatra Utara, memanggungkan sebuah ingatan tentang masa lalu ketika mereka sepenuhnya sadar dan merasa bahwa yang terjadi pada masa kini adalah peristiwa berantakan dan sulit tertanggungkan. Penampilan masa lalu menurut cara massa rakyat kecil pada suatu panggung atau arena pentas lainnya merupakan sebuah ingatan dan kehendak imajinatif sebagai jembatan sementara yang mengisi saat dan tempat tepat antara masa lalu dan masa kini, antara pengalaman dan imaginasi. Walau, jembatan itu rapuh dan tidak sekukuh seperti sebuah harapan berdasar zaman keemasan yang adduhung sebagaimana dilestarikan kaum elite! Berbagai peristiwa masa lalu yang ada dalam ingatan massa rakyat kecil tersebut bukanlah terutama tentang sesuatu hal dan masalah yang pernah terjadi, tetapi yang dapat diceritakan lagi!(24) Atau, kalau mau mempergunakan ungkapan lain: bila mantan presiden Soeharto dapat membuat sejarah untuk melestarikan Keprabon (Cendana) dengan mempercayai dan membenarkan kisah Lengser Keprabon Madheg Pandita, maka komunitas DMB juga jeli untuk memanggungkan Sripah. Maksudnya, ketika seorang prabu atau penguasa dari masa kini sungguh mempercayai bahwa sebuah masa lalu adduhung (berdasar keklasikan pewayangan Jawa, dan sudah tercetak) dapat membenarkan keabadian sang prabu dengan dinasti dan kaki-tangannya, maka dengan jeli, panggung Sripah dan segala kekonyolannya justru mempertanyakan dengan membalik logika seperti itu. Bukankah sebenarnya (hanya) sang prabu sendirilah yang menghasilkan sebuah masa lalu seperti itu?! Dan, ketika sadar bahwa Masa Lalu seperti itu tak terhancurkan lagi, maka tidak ada pilihan lain bagi DMB untuk menghancurkan yang masih mungkin, yaitu mem(per)mainkan apa saja yang dapat dianggap sebagai identitas si prabu itu sendiri. Nama-nama yang teridentifikasi dengan bunyi suara seperti Soeharto, habibie, harmoko, tutut, atau apapun yang lain, menjadi tokoh-tokoh abadi di panggung kethoprak.Dengan demikian, selesai menikmati sebuah pentas, komunitas kethoprak biasanya mampu merasakan ketidak-hadiran dari sesuatu kebenaran yang dari pengalaman-pengalaman hidup normal sebelumnya sepantasnya hadir.(25) Kecuali ikut memanfaatkan pembaruan tata panggung (dekor, tehnik pencahayaan, kostum, musik, dll.), kegunaan modernisasi atau Pembangunan yang ada di sekitar hidup sehari-hari massa rakyat kecil itu menjadi jelas bahwa tidak jelas di depan mata komunitas kethoprak. Bagi komunitas kethoprak, cerita di atas panggung bukan lagi untuk memperbincangkan hal dan masalah dari hari kemarin, tujuan pokok panggung mereka adalah hari esoknya kemarin. Dan cerita-cerita itu diperbincangkan bukan karena kebenarannya, tetapi justru karena keanehannya dalam suatu (tatanan) panggung yang tampak seakan-akan teratur.Kethoprak selalu mempertanyakan sebuah kemapanan. Sebagaimana ditunjukkan dalam pentas kethoprak, bentuk-bentuk kemapanan tersebut dicatat bukan dalam dunia yang mekanis dan komersial, tetapi bahkan dalam kerapuhan pemaknaannya yang tetap saja ada; meski guna dan pengaruh dari kemapanan tersebut sudah lenyap. Dalam dua pentas DMB (Huru-hara, Agustus 1999 dan Celeng Dhegleng, Oktober 1999) menjelang Sidang Umum MPR-DPR dan pemilihan presiden RI, penonton menjadi agak kaget dan tersenyum kecut ketika para pemain mengenakan kostum dari mode kalangan selebritis modern yang serba mewah dan gemerlap (chic costumes) sebagai pengganti kostum tradisional gaya priayi dan keraton Jawa. Kostum kalangan selebritis modern yang mudah diingat dan dikenal oleh para penonton sebagaimana biasa mereka saksikan di layar televisi ketika ada tayangan pameran pakaian di pusat-pusat mode seperti Paris, Tokyo dan Jakarta. Di atas panggung, salah seorang pemain DMB, Gareng Rakasiwi, sempat mengomentari kostum yang dipakai dia dan kawan-kawannya sebagai kok kaya bungkus penmen! - mirip bungkus permen atau gala-gala! Pilihan jenis kostum modern dan adiluhung seperti itu, kiranya, tidaklah akan membuat penonton salah duga bahwa kethoprak justru bermaksud melestarikan tradisi atau kebudayaan elite penguasa (modern dan kaya). James Siegel pernah membuat perbandingan bahwa pada masa awal kebangkitan nasionalisme Indonesia (tahun 1920-an) kalaupun seorang pribumi memakai pakaian gaya Barat sesungguhnya menunjukkan bahwa pemakainya adalah seorang (nasionalis) yang progresif dan/atau revolusioner. Pada waktu itu, kesetaraan dengan (gaya hidup) dunia Barat yang “tidak terbelakang” akan segera dipahami oleh massa rakyat. Sementara misalnya, para pemakai busana mewah dan gemerlap - seperti tampak dalam tayangan televisi atau pada beberapa majalah perempuan Indonesia - pada masa modern Indonesia tahun 1990-an, identitas dan reputasi nasionalisme mereka tidak akan semudah diperoleh dan dipahami seperti tujuh puluh tahun sebelumnya.(26)Kalaupun dunia elite para leluhur atau kalangan yang (sedang) berkuasa dianggap berpengaruh dalam hidup sehari-hari komunitas (pemain dan penonton) kethoprak, hal itu hendaknya dipahami bukan karena kalangan elite tersebut telah menyediakan contoh-contoh yang mulia, tetapi karena perilaku mereka justru mengungkapkan segala kelemahan dan kerapuhan yang biasa dari masyarakat dalam masa sekarang ini. Masuk akal kalau kethoprak memberi kesan berpenampilan adiluhung (lewat kostum, musik, dan lain-lain) dari sebuah zaman keemasan. Akan tetapi, kesemuanya itu dipanggungkan oleh komunitas kethoprak dengan maksud-maksud supaya “ingat untuk lupa”! Bukankah semua keberesan yang ditampilkan dalam hal-hal yang bersifat adiluhung, bapak prabu yang madheg pandita dan embangunan modern, sesungguhnya adalah hal-hal yang jelas jelas “tidak jelas” dan tidak salah kalau patut untuk dilupakan saja!Menyadari hakikat diri mereka sebagai warga massa rakyat kecil, sebuah komunitas kethoprak memang tidak menyajikan dan tidak mengharapkan suatu “Tanah Terjanji” atau keselamatan kekal. Hanya, paling tidak dalam pertunjukan itu toh ada saat dan tempat “Penantian Sementara” (purgatory) dalam adegan-adegannya yang memang khas kethoprak.(27) Di atas panggung kethopraklah segala sesuatu di(per)mainkan, dilecehkan, dan diputarbalikkan. Segala sesuatu yang biasa dianggap baik malah dicemoohkan. Bahkan kalau suatu teater atau seni pertunjukan modern beram berkata, “Lihat, sandiwaraku menyerupai kehidupan,” sebuah kethoprak hanya akan berkomentar, “Hanya kethoprakkulah yang akan menunjukkan kepadamu apa yang disembunyikan dalam penampilan hidup sehari-hari.”(28) Kethoprak, atau seni pertunjukan massa rakyat sejenis lainnya, adalah siasat budaya untuk tetap tegak mengatasi pesona dan ancaman modernisasi yang mudah mengobral (budi)bahasa, imajinasi, dan identitas.*

Nuk ka komente:

televisi indonesia